Merangkum Isi Informasi Teks Buku


Salah satu cara mengambil manfaat dari informasi dalam buku
adalah dengan merangkumnya. Caranya, Anda dapat mencatat pokok-
pokok isi informasi pada halaman bab tertentu yang dirujuk setelah
Anda membaca daftar isi. Selanjutnya, rangkumlah seluruh isi informasi
(yang diperoleh dari bab tertentu) ke dalam beberapa kalimat.
Berikut terdapat sebuah kutipan dari buku Tatabahasa Indonesia
yang ditulis Gorys Keraf halaman 137–138. Kita dapat membuat
rangkuman dari kutipan berikut.

Pendahuluan
Sintaksis (Yunani: Sun + tattein = mengatur
bersama sama) adalah bagian dari tatabahasa
yang mempelajari dasar-dasar dan proses-proses
pembentukan kalimat dalam suatu bahasa. Penelitian
bidang fonetis, morfologis dan struktur frasa dari
suatu bahasa merupakan bagian dari iImu bahasa
yang masih bersifat statis. Dalam sintaksis bidang-
bidang statis seolah-olah digerakkan dan dihidupkan
ke dalam kesatuan gerak yang dinamis, diikat dan
dijalin ke dalam berbagai macam konstruksi.
Setiap bahasa memiliki sistem-sistem yang khusus
untuk mengikat kata-kata atau kelompok-kelompok
kata ke dalam suatu gerak yang dinamis. Oleh sebab
itu, kita tidak dapat dibenarkan untuk menyusun
tatakalimat suatu bahasa dengan secara sembarangan
menerapkan sintaksis bahasa lain. Hal salah kaprah
ini pernah dilakukan oleh ahli-ahli tatabahasa lama.
Tatabahasa Latin-Yunani, yang memiliki struktur
khusus, diterapkan begitu saja kepada bahasa-bahasa
lain. Sintaksis suatu bahasa haruslah merupakan
perumusan dari berbagai macam gejala susun-peluk

kata-kata dalam suatu bahasa. Jika nanti ada persamaan
tatakalimat suatu bahasa dengan bahasa lain, haruslah
merupakan hasil perbandingan yang diadakan antara
bahasa-bahasa tersebut. Akan tetapi, bukan sebagai
hasil penerapan sintaksis bahasa lain.
Tatabahasa-tatabahasa lama tidak banyak bicara
tentang sintaksis. Mereka yang menelaah sintaksis
secara mendalam dan menggunakan kalimat sebagai
titik-tolak penelitiannya. Dalam hal ini, hanya
beberapa gelintir manusia yang mau berusaha untuk
melaksanakan sekuat-kuatnya menelaah sintaksis.
Akan tetapi,  kadang hasil masih jauh dari sasaran
optimal. Mereka masih sering kembali ke dalam
pemikiran falsafah, di mana semua fenomena bahasa
selalu ditinjau dan bidang falsafah. Falsafah dijadikan
alat untuk memecahkan segala macam persoalan.
Dengan demikian, timbul suatu kesan bahwa bukan
masalah bahasa yang dipersoalkan, tetapi kecerdasan
berpikir atau berpikir secara logislah yang dipersoalkan.
Di sini kita berusaha bertolak dari seberang lain,
bertolak dari bahasa sendiri, sebagai sumber penurunan
perumusan-perumusan tentang sintaksis.
1.  Kata, Frase, dan Klausa
Jika sekali lagi kita melihat tataran-tataran (tata
tingkat/hirarki) dalam bahasa, urutan tataran itu dari
yang kecil sampai paling luas beserta bidang ilmunya
masing-masing adalah:
Bidang Ilmu       Tataran
Fonologi
: fon/fonem

  suku kata
Morfologi
: morfem

  terikat bebas kata dasar  
 turunan/jadian
Sintaksis
: frasa klausa
Wacana
: alinea bagian  (sejumlah alinea)
   anak bab


   bab
Karangan yang utuh : terdiri atas bab-bab
Semua unsur di atas disebut unsur segmental,
yaitu unsur-unsur yang dapat dibagi-bagi menjadi
bagian atau segmen-segmen yang lebih kecil. Di
samping unsur segmental terdapat juga unsur supra-
segmental, yang kehadirannya tergantung dari unsur-
unsur segmental. Unsur suprasegmental mulai hadir
dalam tataran kata sampai wacana: nada, tekanan
keras, panjang, dan intonasi.
Dengan demikian kata merupakan suatu unsur yang
dibicarakan dalam morfologi, sebaliknya frase dan klausa
berdasarkan strukturnya termasuk dalam sintaksis.
Frase adalah suatu konstruksi yang terdiri dari
dua kata atau lebih yang membentuk suatu kesatuan.
Kesatuan itu dapat menimbulkan suatu makna baru
yang sebelumnya tidak ada. Misalnya dalam frase
rumah ayah muncul makna baru yang menyatakan
milik, dalam frase rumah makan terdapat pengertian
baru ‘untuk'. Adapun frase obat nyamuk terdapat
makna baru ‘untuk memberantas'.
Sebaliknya klausa adalah suatu konstruksi yang di
dalamnya terdapat beberapa kata yang mengandung
hubungan fungsional. Dalam tatabahasa lama dikenal
dengan pengertian subjek, predikat, obyek, dan
keterangan-keterangan. Sebuah klausa sekurang-
kurangnya harus mengandung satu subjek, satu
predikat, dan secara fakultatif satu obyek. Dalam hal-
hal tertentu klausa terdiri dari satu predikat dan boleh
dengan keterangan (bentuk impersonal), misalnya:
1.   Saya menyanyikan sebuah lagu
2.   Adik membaca buku
3.  Anak itu menangis
4.
Ia sudah bangun                                  
5.
diberitahukan kepada umum                  
6.
demikian diceritakan
7.
sementara adik menyanyikan sebuah lagu, saya
membaca buku
8.
ia makan, karena (ia) lapar
Konstruksi no. 1 sampai dengan 6 membentuk
satu klausa, dan sekaligus sebuah kalimat. Sebaliknya,
konstruksi no. 7 dan 8 merupakan sebuah kalimat yang
terdiri dari dua klausa.
Sementara itu, kalau kita mendengar orang
mengucapkan: ,
  9.   "Maling!" "Pergi!" "Keluar!"
10.  "Rumah ayah!" sebagai jawaban atas pertanyaan,
"Rumah siapa itu?"
11.   "Karena lapar!" sebagai jawaban atas pertanyaan,
"Mengapa kamu malas bekerja?"
Semua konstruksi di atas diterima juga sebagai
kalimat, walaupun contoh-contoh dalam nomor 9
hanya terdiri dari satu kata. Adapun nomor 10 dan
11 terdiri atas frase.
Jika demikian: sebuah kata, sebuah frase, atau
sebuah klausa dapat menjadi sebuah kalimat. Akan
tetapi, di mana letak perbedaannya? Kita menye-
butnya sebagai kata, frase, atau klausa, semata-mata
berdasarkan unsur segmentalnya. Sebaliknya, unsur
kata, frase, dan klausa dapat dijadikan kalimat kalau
diberikan kepadanya unsur suprasegmental (dalam
hal ini intonasi).
Jadi:

 kata
+ intonasi
> kalimat

 frasa
+ intonasi
> kalimat                          

 klausa + intonasi
> kalimat

kata-kata dalam suatu bahasa. Jika nanti ada persamaan
tatakalimat suatu bahasa dengan bahasa lain, haruslah
merupakan hasil perbandingan yang diadakan antara
bahasa-bahasa tersebut. Akan tetapi, bukan sebagai
hasil penerapan sintaksis bahasa lain.
Tatabahasa-tatabahasa lama tidak banyak bicara
tentang sintaksis. Mereka yang menelaah sintaksis
secara mendalam dan menggunakan kalimat sebagai
titik-tolak penelitiannya. Dalam hal ini, hanya
beberapa gelintir manusia yang mau berusaha untuk
melaksanakan sekuat-kuatnya menelaah sintaksis.
Akan tetapi,  kadang hasil masih jauh dari sasaran
optimal. Mereka masih sering kembali ke dalam
pemikiran falsafah, di mana semua fenomena bahasa
selalu ditinjau dan bidang falsafah. Falsafah dijadikan
alat untuk memecahkan segala macam persoalan.
Dengan demikian, timbul suatu kesan bahwa bukan
masalah bahasa yang dipersoalkan, tetapi kecerdasan
berpikir atau berpikir secara logislah yang dipersoalkan.
Di sini kita berusaha bertolak dari seberang lain,
bertolak dari bahasa sendiri, sebagai sumber penurunan
perumusan-perumusan tentang sintaksis.
1.  Kata, Frase, dan Klausa
Jika sekali lagi kita melihat tataran-tataran (tata
tingkat/hirarki) dalam bahasa, urutan tataran itu dari
yang kecil sampai paling luas beserta bidang ilmunya
masing-masing adalah:
Bidang Ilmu       Tataran
Fonologi
: fon/fonem

  suku kata
Morfologi
: morfem

  terikat bebas kata dasar  
 turunan/jadian
Sintaksis
: frasa klausa
Wacana
: alinea bagian  (sejumlah alinea)
   anak bab


   bab
Karangan yang utuh : terdiri atas bab-bab
Semua unsur di atas disebut unsur segmental,
yaitu unsur-unsur yang dapat dibagi-bagi menjadi
bagian atau segmen-segmen yang lebih kecil. Di
samping unsur segmental terdapat juga unsur supra-
segmental, yang kehadirannya tergantung dari unsur-
unsur segmental. Unsur suprasegmental mulai hadir
dalam tataran kata sampai wacana: nada, tekanan
keras, panjang, dan intonasi.
Dengan demikian kata merupakan suatu unsur yang
dibicarakan dalam morfologi, sebaliknya frase dan klausa
berdasarkan strukturnya termasuk dalam sintaksis.
Frase adalah suatu konstruksi yang terdiri dari
dua kata atau lebih yang membentuk suatu kesatuan.
Kesatuan itu dapat menimbulkan suatu makna baru
yang sebelumnya tidak ada. Misalnya dalam frase
rumah ayah muncul makna baru yang menyatakan
milik, dalam frase rumah makan terdapat pengertian
baru ‘untuk'. Adapun frase obat nyamuk terdapat
makna baru ‘untuk memberantas'.
Sebaliknya klausa adalah suatu konstruksi yang di
dalamnya terdapat beberapa kata yang mengandung
hubungan fungsional. Dalam tatabahasa lama dikenal
dengan pengertian subjek, predikat, obyek, dan
keterangan-keterangan. Sebuah klausa sekurang-
kurangnya harus mengandung satu subjek, satu
predikat, dan secara fakultatif satu obyek. Dalam hal-
hal tertentu klausa terdiri dari satu predikat dan boleh
dengan keterangan (bentuk impersonal), misalnya:
1.   Saya menyanyikan sebuah lagu
2.   Adik membaca buku
3.  Anak itu menangis
4.
Ia sudah bangun                                  
5.
diberitahukan kepada umum                  
6.
demikian diceritakan
7.
sementara adik menyanyikan sebuah lagu, saya
membaca buku
8.
ia makan, karena (ia) lapar
Konstruksi no. 1 sampai dengan 6 membentuk
satu klausa, dan sekaligus sebuah kalimat. Sebaliknya,
konstruksi no. 7 dan 8 merupakan sebuah kalimat yang
terdiri dari dua klausa.
Sementara itu, kalau kita mendengar orang
mengucapkan: ,
  9.   "Maling!" "Pergi!" "Keluar!"
10.  "Rumah ayah!" sebagai jawaban atas pertanyaan,
"Rumah siapa itu?"
11.   "Karena lapar!" sebagai jawaban atas pertanyaan,
"Mengapa kamu malas bekerja?"
Semua konstruksi di atas diterima juga sebagai
kalimat, walaupun contoh-contoh dalam nomor 9
hanya terdiri dari satu kata. Adapun nomor 10 dan
11 terdiri atas frase.
Jika demikian: sebuah kata, sebuah frase, atau
sebuah klausa dapat menjadi sebuah kalimat. Akan
tetapi, di mana letak perbedaannya? Kita menye-
butnya sebagai kata, frase, atau klausa, semata-mata
berdasarkan unsur segmentalnya. Sebaliknya, unsur
kata, frase, dan klausa dapat dijadikan kalimat kalau
diberikan kepadanya unsur suprasegmental (dalam
hal ini intonasi).
Jadi:

 kata
+ intonasi
> kalimat

 frasa
+ intonasi
> kalimat                          

 klausa + intonasi
> kalimat

Rangkuman dapat diartikan penyajian singkat dari suatu karangan
asli, dengan tetap mempertahankan urutan isi dan sudut pandangan
pengarangnya. Dengan demikian, merangkum merupakan kegiatan me-
nyingkat bacaan dengan tetap mempertahankan urutan isinya.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat membuat ringkasan
atau rangkuman, yakni sebagai berikut.
1. Membaca naskah aslinya. Sebelum merangkum, kita harus mem-
baca teks bacaan seluruhnya untuk mengetahui kesan umum, terutama
maksud penulis dan sudut pandangannya.
2. Mencatat gagasan utama. Semua gagasan utama dapat dicatat
terlebih dahulu atau cukup digarisbawahi.
Contohnya:
a.
Tataran bahasa terdiri atas fonologi, morfologi, sintaksis, dan
wacana.
b.
Bahasa terdiri atas dua unsur, yaitu unsur segmental dan
suprasegmental.
c.
Yang termasuk unsur segmental ialah fon, suku kata, morfem,
kata, frase, klausa, kalimat, alinea, bagian (sejumlah alinea), anak
bab, bab, dan karangan utuh.
d.
Yang termasuk unsur suprasegmental ialah nada, tekanan keras,
panjang, dan intonasi.
e.
Kata merupakan suatu unsur yang dibicarakan dalam morfologi.
f.
Frase adalah suatu konstruksi yang terdiri atas dua kata
atau lebih yang membentuk suatu kesatuan dan kesatuan
tersebut dapat menimbulkan makna baru yang sebelumnya
tidak ada. Misalnya, frase rumah ayah muncul makna baru
yang menyatakan milik.
g.
Klausa adalah suatu konstruksi yang sekurang-kurangnya
mengandung satu subjek, satu predikat, dan secara fakultatif
satu objek.
h.
Kata, frase, ataupun klausa dapat menjadi sebuah kalimat
apabila diberikan unsur suprasegmental.

3. Membuat reproduksi. Setelah melalui kedua tahap tersebut,
barulah kita menyusun kembali bacaan tersebut dalam suatu karan-
gan singkat berdasarkan gagasan utama yang telah dicatat.
Contohnya:
Tataran bahasa terdiri atas fonologi, morfologi, sintaksis,
dan wacana. Adapun bahasa terdiri atas dua unsur, yaitu unsur
segmental dan suprasegmental. Adapun yang termasuk unsur
segmental ialah fon, suku kata, morfem, kata, frase klausa, kalimat,
alinea, bagian (sejumlah alinea), anak bab, bab, dan karangan utuh.
Berikutnya yang termasuk unsur suprasegmental ialah nada,
tekanan keras, panjang, dan intonasi.
Kata merupakan suatu unsur yang dibicarakan dalam morfologi.
Frase adalah konstruksi yang terdiri atas dua kata atau lebih yang
membentuk suatu kesatuan yang dapat menimbulkan makna baru
yang sebelumnya tidak ada. Misalnya, dalam frase rumah ayah muncul
makna baru yang menyatakan milik. Adapun klausa adalah suatu
konstruksi yang di dalamnya sekurang-kurangnya mengandung satu
subjek, satu predikat, dan secara fakultatif satu objek. Kata, frase,
ataupun klausa dapat menjadi sebuah kalimat apabila diberikan
unsur suprasegmental.

Nilai Filosofis Upacara Tradisional Jawa
Pengertian Upacara Tradisional

Upacara tradisional merupakan salah satu wujud
peninggalan kebudayaan. Kebudayaan adalah warisan
sosial yang hanya dapat dimiliki oleh warga masyarakat
pendukungnya dengan jalan mempelajarinya.  Ada cara-
cara atau mekanisme tertentu dalam tiap masyarakat
untuk memaksa tiap warganya mempelajari kebudayaan.
Kebudayaan tersebut mengandung norma-norma serta
nilai-nilai kehidupan yang berlaku dalam tata pergaulan
masyarakat yang bersangkutan. Sikap mematuhi norma
serta menjunjung nilai-nilai itu penting bagi warga
masyarakat demi kelestarian hidup bermasyarakat.

Dalam masyarakat yang sudah maju, norma-
norma dan nilai-nilai kehidupan itu dipelajari me-
lalui jalur pendidikan, baik secara formal maupun
nonformal.  Lembaga-lembaga pendidikan merupakan
tempat belajar bagi para siswa secara formal untuk
mempersiapkan diri sebagai warga masyarakat yang
me-nguasai keterampilan hidup sehari-hari serta
memiliki sikap bawaan.

Di luar lembaga pendidikan yang formal, warga
masyarakat juga mengalami proses sosialisasi dengan
jalan pergaulan serta menghayati pengalaman bersama
dengan warga masyarakat lain. Dengan demikian,
mereka mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan
kehidupan sosial budayanya. Proses sosialisasi ditempuh
secara nonformal dan yang paling dirasakan akrab ialah
pergaulan antarsesama anggota keluarga.

Di samping pendidikan formal dan nonformal ter-
sebut, ada suatu bentuk sarana sosialisasi bagi warga
masyarakat tradisional, khususnya, yang disebut "upacara
tradisional." Penyelenggaraan upacara itu penting
bagi pembinaan sosial budaya warga masyarakat yang
bersangkutan. Salah satu fungsinya antara lain adalah
pengokoh norma-norma,serta nilai-nilai budaya yang
telah berlaku turun-temurun.

Upacara tradisional Jawa mengandung nilai filsafat
yang tinggi. Kata "filsafat" berasal dari kata majemuk dalam
bahasa Yunani,  philosophia yang berarti cinta kebijaksanaan.
Adapun orang yang melakukannya disebut filsuf yang
berasal dari kata Yunani philosopos. Kedua kata itu sudah
lama dipakai orang. Dari sejarah telah terungkap bahwa
kata-kata itu sudah dipakai oleh filsuf Sokrates dan
Plato pada Abad ke-5 Sebelum Masehi. Seorang filsuf
berarti seorang pecinta kebijaksanaan, berarti orang
tersebut telah mencapai status adimanusiawi atau
wicaksana. Orang yang wicaksana disebut juga sebagai
jalma sulaksana, waskhita ngerti sadurunge winarah atau
jalma limpat seprapat (Mulyono, 1989:16).

Jika di Barat filsafat diartikan cinta kearifan,
di Jawa berarti cinta kesempurnaan atau ngudi
kawicaksanan atau kearifan (wisdom). Di Barat lebih
ditekankan sebagai hasil renungan dengan rasio atau
cipta-akal, pikir-nalar dan berarti pengetahuan berbagai
bidang yang dapat memberi petunjuk pelaksanaan
sehari-hari. Di dalam kebudayaan Jawa, kesempurnaan
berarti mengerti akan awal dan akhir hidup atau wikan
sangkan paran. Kesempurnaan dihayati dengan seluruh
kesempurnaan cipta-rasa-karsa. Manusia sempurna
berarti telah menghayati dan mengerti awal akhir
hidupnya. Orang menyebutnya mulih mula, mulanira
atau manunggal. Manusia telah kembali dan manunggal
dengan penciptanya, manunggaling kawula Gusti. Manusia
sempurna memiliki kawicaksanan dan kemampuan
mengetahui peristiwa-peristiwa di luar jangkauan ruang
dan waktu atau kawaskithan (Ciptoprawiro, 1986: 82).

Pandangan hidup orang Jawa atau filsafat Jawa
terbentuk dari gabungan alam pikir Jawa tradisional,
kepercayaan Hindu atau filsafat India, dan ajaran tasawuf
atau mistik Islam. Pandangan hidup tersebut banyak
tertuang dalam karya-karya sastra berbentuk prosa
dan puisi (Satoto, 1978: 73–74). Dalam budaya Jawa
pandangan hidup lazim disebut ilmu kejawen atau yang
dalam kesusasteraan Jawa dikenal pula sebagai ngelmu
kasampurnan. Wejangan tentang ngelmu kasampurnan
Jawa ini termasuk ilmu kebatinan atau dalam filsafat Islam
disebut dengan tasawuf atau sufisme. Orang Jawa sendiri
menyebutkan suluk atau mistik. Kejawen itu sebenarnya
bukan aliran agama, tetapi adat kepercayaan. Dalam
kejawen terdapat ajaran yang berdasarkan kepercayaan
terhadapTuhan dan lebih tepat lagi disebut pandangan
hidup atau filsafat hidup Jawa.

Masyarakat lebih sebagai gambaran ideal itu
adalah masyarakat yang cara kerjanya berdasarkan
suatu tata. Tata dengan kedua aspeknya yaitu
formal dan material, batin dan lahir, serta bentuk
dan bahan. Cara dengan kedua aspeknya yaitu
efisiensi dan efektivitas. Hubungan antara kota dan
desa, pusat dan daerah, Jawa dan Luar Jawa dapat
dipolakan sebagai hubungan antara tata dan cara.
Sudah saatnya upacara yang tidak lagi relevan di-
ganti dengan tata cara atau cara kerja yang maju.
Sebuah simpul desa mawa cara, negara mawa tata.

Menurut Damardjati (1993), hubungan antara
tata dan cara itu adalah juga analog dengan hubungan
antara jangka dan jangkah serta orientasi dan
operasionalisasinya. Salah satu hal yang memberikan
telaah tentang hal itu ialah telaah kosmologis. Per-

kembangan pikiran dunia dalam hubungan ini dapat
disifatkan berproses mulai dari, kosmosentrisme,
teosentrisme,  antroposentrisme, teknosentrisme, lalu
kembali ke logosentrisme.

Logosentrisme Abad 21 ditandai oleh gejala alam
sebagai titik balik (turning point), yaitu ketika manusia
mulai dikembalikan akibat amalan-amalannya yang
negatif. Ketentuan alam ini disadari sebagai tekstur
atau anyaman ayat-ayat Tuhan yang Akbar. Orang mulai
tertarik kepada telaah tentang Megatrend 2000 dan
telaah futurologi lainnya. Adapun bidang agroindustri
dimaksudkan untuk kesejahteraan manusia berarti
menjadikan manusia tetap sebagai subjek, bukan menjadi
objek. Segala sesuatu perlu persiapan yang matang.






Share this: