Bacalah dengan saksama cerpen berikut.
Menunggu
Cerpen Raisal Kahfi
Aku kembali terpaku pada panorama yang tak
asing lagi. Sebuah panorama yang selama ini begitu
akrab dengan kehidupanku di kampus hijau ini. Di
depanku berdiri kokoh sebatang pohon palem yang
tegar dalam kesendirian. Pohon itu dikelilingi rum-
put basah yang bermandi matahari. Perlahan sisa
tetesan embun yang hinggap di atasnya sirna seir-
ing dengan pagi yang semakin tua. Di tempat yang
penuh kenangan ini aku masih menunggunya dengan
setia, bagiku setia tidak pernah sia-sia.
Masih bisa kuhirup aroma pagi walau matahari
sudah agak meninggi. Pukul sepuluh, saat yang tepat
untuk menunggunya di sini, selasar sebuah masjid
yang selalu teduhkan jiwaku. Melapangkan pikiranku
dari jenuhnya suasana perkuliahan. Hal inilah yang ombak di samudera. Hatinya begitu indah untuk di-
cinta. Dan dari cahaya di matanya aku tahu bahwa
dia adalah hawa yang tercipta dari rusukku. Tetapi
mengapa dia belum muncul juga?
* * *
Tanpa terasa matahari semakin tinggi, ham-
pir tepat di atas kepalaku. Langit yang menyajikan
pemandangan biru muda nyaris tak dihinggapi awan.
Udara sudah mulai panas. Kulepaskan sweater pu-
tih yang kupakai sejak pagi. Ternyata leherku basah
karena keringat. Suasana di sekelilingku semakin
ramai saja. Berbondong-bondong para mahasiswa
dari berbagai arah menyerbu selasar masjid yang se-
belumnya tampak lengang. Teman-temanku tak lagi
membicarakan rencana perjalanan kami ke Jakarta.
Beberapa di antara mereka ada yang pulang ke kost-
an dan baru akan kembali pukul satu nanti karena
masih ada mata kuliah Kajian Drama. Sedang yang
lainnya terlihat sedang tidur-tiduran, mengerjakan
tugas, mengobrol, makan, dan bahkan dua orang
temanku yang kebetulan berpacaran sedang duduk
berdua sekitar tujuh meter dari samping kiriku. Huh,
jujur saja aku sedikit iri pada mereka. Sepertinya
mereka sangat menikmati cinta. Tidak seperti aku
yang terkadang begitu merana karena cinta. Seperti
saat ini, aku dibuat merana oleh sebuah penantian
sambil mendengarkan lagu-lagu Melly Goeslow yang
ada dalam album Ada Apa dengan Cinta dengan
menggunakan walkman milik temanku.
aku tak bisa jelaskan mengapa bisa begini. Aku
s’lalu rindu pada malamku bersamamu……
kuhanya ingin mencintai, aku hanya ingin dicin-
tai. Walaupun banyak yang menentangku, kuhanya
ingin bahagia……
***
Siang semakin garang. Mengucurkan keringat di
sekujur tubuhku. Saat ini aku sudah bisa mencium
aroma siang. Kurasakan panas pada kulit tanganku
yang terjemur langsung di bawah terik matahari.
Aku berpindah tempat duduk, mencari tempat yang
lebih teduh. Kini aku bersandar di sebuah lemari
kayu yang biasa dijadikan tempat penitipan sepatu.
Orang-orang lalu lalang di depan wajahku. Tiba-tiba
seorang anak menghampiriku dengan membawa
sebuah kecrek yang terbuat dari kayu dan tutup
botol soft drink yang dipipihkan. Kukecilkan suara
walkman untuk mendengarkan bocah yang seumu-
ran dengan adik bungsuku bernyanyi, “libuan kilo
jalan yang kau tempuh, lewati lintangan demi aku
anakmu."
Hatiku benar-benar tersentuh. Bagaimana bisa
seorang bocah yang belum bisa mengucapkan huruf
“R" berada di sini mencari makan? Bukankah seha-
rusnya mereka berada di bangku sekolah? Inikah
tanda-tanda ketidakadilan dunia? Lalu bagaimana
dengan masa depan mereka? Ah, kurasa inilah salah
satu penyebab keterbelakangan bangsa kita disband-
ing bangsa lain. Tapi mau bagaimana lagi? Apa sih
yang bisa dilakukan oleh seorang mahasiswa miskin
seperti aku selain berdo’a, berdo’a, dan berdo’a.
Mudah-mudahan kelak tak ada lagi anak yang kurang
beruntung seperti dia.
Setelah kukeluarkan uang receh secukupnya
anak itu berlalu. Ia berkumpul dengan teman-
temannya di dekat menara putih yang menjulang
tinggi di depan masjid ini. Mereka terlihat begitu
menikmati penatnya siang. Seakan tanpa beban
mereka berlarian di bawah jemuran matahari. Se-
mentara itu aku kembali menebar pendanganku.
Masih dalam rangka mencari sosoknya yang selama
ini kurindukan.
Adzan Dzuhur berkumandang, menyerukan
panggilan untuk segera menghadap-Nya. Sebagian
mahasiswa segera mengambil air wudhu dan se-
bagian lagi terlihat masih duduk-duduk memenuhi
selasar masjid untuk menunggui tas dan sepatu te-
man-teman mereka yang pergi sholat terlebih da-
hulu.
Di masjid ini berkali-kali terjadi kasus kehilan-
gan barang, baik itu tas, sepatu, jaket, atau handphone.
Oleh karena itulah sholat bergantian dianggap se-
bagai solusi terbaik untuk menghindari kehilangan
barang. Begitu juga dengan aku, dua tahun yang lalu
aku sempat menjadi korban kehilangan tas di masjid
ini. Betapa kesalnya aku saat itu. Isi tas memang ti-
dak bernilai jual tinggi bagi orang lain, tetapi bagiku
sangat berarti. Isinya disket-disket tugas akhir se-
mester yang belum sempat di-print, dan foto-foto
kenanganku bersama kekasihku yang pergi mengha-
dap-Nya tiga tahun yang lalu.
Gambar-gambar wajah teduhnya seringkali
membuatku merasa bahagia karena pernah dicintai
oleh mahluk seindah dirinya. Dan sejak aku berte-
mu dengan seseorang yang saat ini sedang kutunggu,
aku seakan dipertemukan kembali dengan reinkar-
nasi dirinya. Sungguh, kedua gadis itu terkesan sama
bagiku. Tetapi mengapa dia belum datang juga?
Segera kumatikan walkman, setelah menitipkan
tas dan sepatu pada temanku yang kebetulan sedang
“libur sholat", aku segera mengambil air wudhu dan
sholat berjama’ah. Seusai sholat aku berdo’a pada
Tuhan agar aku bisa dipersatukan dengannya, aku
ingin menjadikannya sebagai matahari cintaku. Ke-
mudian aku segera kembali ke selasar masjid. Aku
masih berharap bisa bertemu dengannya siang ini,
atau paling tidak aku bisa melihatnya walaupun dari
kejauhan. Yang jelas di dasar hati terdalamku aku in-
gin menyatakan isi hatiku untuknya siang ini juga.
Pukul setengah satu, matahari benar-benar tak
selembut tadi pagi. Suasana di sekelilingku semakin ra-
mai. Para penjual makanan mulai berdatangan untuk
menyajikan hidangan makan siang berupa batagor, sio-
may, cuanki, es cendol, cincau, dan berbagai makanan
lain dengan harga murah tentunya. Tetapi aku sedikit-
pun tidak tergerak untuk makan. Entah kenapa.
menjadi salah satu alasanku untuk segera kembali
ke tempat ini begitu perkuliahan usai. Begitu juga
dengan teman-temanku yang saat ini, di belakang-
ku, sedang asyik membicarakan rencana perjalanan
kami ke Jakarta beberapa minggu lagi. Seusai kuliah
tempat ini selalu jadi tujuan mereka. Dan kini aku
masih asyik sendiri, nikmati matahari dan berbagai
aktivitas kehidupan yang saat ini terpajang di depan
mataku. Tanpa henti aku memohon pada Tuhan agar
pagi ini aku depertemukan dengannya, mahluk in-
dah yang akhir-akhir ini telah mendobrak semesta
hatiku dan membuatku jatuh cinta.
Kutebar pandanganku. Di kananku sebuah mas-
jid berdiri dengan megah walau tak semegah masjid
raya yang ada di alun-alun kotaku. Masjid itu ber-
nama al-Furqon. Tempat ini adalah salah satu tem-
pat yang paling sering kusinggahi. Di beranda masjid
kulihat beberapa mahasiswa sedang membaca al-
Quran. Aku terenyuh melihatnya. Bagaimana tidak?
Akhir-akhir ini aku begitu jarang menyentuh kitab
suci. Sungguh, aku benar-benar merasa berdosa.
Tak jauh dari situ kulihat seorang lelaki yang
sedang duduk termenung menatap ke arah pohon
palem, seperti aku. Tetapi setelah kuamati, sesekali
lelaki itu tersenyum kecil seakan sedang bercakap-
cakap dengan rumput. Entah apa yang sedang ia
pikirkan. Mungkinkah dia sedang terperosok ke
dasar lembah cinta sepertiku? Entahlah, yang jelas
wajahnya tampak tersenyum.
Di depanku, di seberang lapangan rumput,
seorang penjual kue donat sedang melayani pem-
belinya, dua perempuan berjilbab dengan pakaian
serba ketat. Dengan genitnya mereka memilih-milih
donat yang ada di dalam box, sepertinya si penjual
donat cukup gerah juga pada dua perempuan centil
itu. Tetapi mereka membuatku teringat pada ses-
eorang yang saat ini masih kutunggu. Apa yang sedang
dilakukannya di pagi yang semakin tua ini? Kuharap
dia tidak sedang menggoda lelaki lain seperti yang
dilakukan oleh dua perempuan itu. Bicara soal jilbab,
memang akhir-akhir ini banyak sekali muslimah yang
berjilbab bukan karena panggilan hati, melainkan
karena panggilan mode. Hal inilah yang terkadang
membuatku dan beberapa temanku merasa prihatin.
Ya, itu memang hak asasi mereka. Tetapi sejujurnya
aku lebih menghormati wanita baik-baik tanpa jilbab
daripada wanita berjilbab yang masih gemar mem-
pertontonkan auratnya. Seperti bidadari yang saat
ini semakin membuat kesabaranku nyaris habis.
Ia tidak berjilbab. Rambutnya bergelombang bagai
Beberapa temanku mulai beranjak mening-
galkan selasar masjid ini dan segera menuju ruang
kuliah yang letaknya cukup jauh dari sini. Untuk
sampai di sana kami harus melewati perpustakaan,
Balai Bahasa, dan Fakultas Ilmu Pendidikan. Apalagi,
di bawah terik yang menyengat ini. Mungkin beber-
apa teman perempuan yang kolokan akan mengeluh
sepanjang jalan. Takut kulitnya terbakar-lah, takut hi-
tam-lah. Menyebalkan.
Aku segera merapikan barang bawaanku, lalu
segera kupakai sepatuku. Tetapi aku tidak segera be-
ranjak. Aku masih begitu ingin bertemu dengannya.
Sekali lagi kuamati sekelilingku. Masih bisa kurasakan
suasana ramai khas tempat ini yang terjadi setiap
hari kecuali hari Sabtu dan Minggu. Apalagi, hari
Senin seperti sekarang ini, biasanya kampusku lebih
ramai dibanding hari-hari lainnya.
Dan akhirnya penantianku tidak sia-sia. Tepat di
depanku, di dekat gerbang kampus aku melihatnya
berjalan menuju tempat parkir motor. Tetapi jan-
tungku seakan berhenti berdegup. Dia tidak sendiri.
Seorang lelaki mendampingi langkahnya. Tak lama
kemudian mereka berlalu, melaju dengan sebuah
sepeda motor. Dia mendekap erat lelakinya. Wajah
cantiknya melekat pada punggung lelaki itu. Menara
putih dan pohon palem runtuh dalam semesta lu-
kaku. Rumput terbakar terik matahari seperti ha-
tiku yang terbakar api yang tak kumengerti. Kering
dan layu. Dalam hitungan detik segalanya berubah
jadi debu. Tak ada lagi Mawar atau Kanigara. Yang ada
hanyalah bangkai berbau amis.
Aku berlalu meninggalkan selasar masjid yang
masih dipenuhi manusia. Kutinggalkan sebuah per-
tanyaan, “mengapa dia tak menjadikan aku sebagai
mataharinya?" Pertanyaan itu terjawab setelah aku
tahu bahwa lelaki itulah matahari pilihannya. Dan
aku, masih akan selalu menunggu di selasar mas-
jid ini. Bukan lagi menunggu kedatangannya tetapi
menunggu kematian sebuah pijaran jiwa yang kini
telah diliputi luka menganga. Aku terluka.
Sumber: Majalah Cerita Kita, November 2006