Latar Belakang Sosial-Budaya
Pemahaman puisi tidak dapat dilepaskan dari latar belakang
kemasyarakatan dan budayanya. Untuk dapat memberikan
makna sepenuhnya kepada sebuah sajak, selain dianalisis struktur
intrinsiknya (secara struktural) dan dihubungkan dengan kerangka
kesejarahannya, analisis tidak dapat dilepaskan dari kerangka sosial-
budayanya (Teeuw, 1983: 61–62). Karya sastra mencerminkan
masyarakatnya dan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan
kekuatan-kekuatan pada zaman tertentu (Abrams, 1981:178)
mengingat bahwa sastrawan itu adalah anggota masyarakat.
Seorang penyair tidak dapat lepas dari pengaruh sosial-budaya
masyarakatnya. Latar sosial-budaya itu terwujud dalam tokoh-tokoh
yang dikemukakan, sistem kemasyarakatan, adat-istiadat, pandangan
masyarakat, kesenian, dan benda-benda kebudayaan yang terungkap
dalam suatu karya sastra.
Penyair Indonesia berasal dari bermacam-macam, sesuai dengan
jumlah suku bangsa Indonesia. Dengan demikian, ada latar sosial-
budaya Sulawesi, Kalimantan, Aceh, Batak, Minangkabau, Melayu,
Sunda, Jawa, Bali, Madura, dan sebagainya. Untuk memahami
dan memberi makna sajak yang ditulis oleh penyair Sunda, Bali,
Jawa, dan sebagainya diperlukan pengetahuan tentang latar sosial-
budaya yang melatarinya. Misalnya, untuk memahami sajak-sajak
Linus Suryadi yang berlatar budaya wayang, begitu juga sebagian
sajak Subagio Sastrowardojo, pembaca harus memiliki pengetahuan
tentang wayang. Beberapa sajak Subagio Sastrowardojo yang
termuat dalam Keroncong Motinggo, adalah "Kayon", "Wayang",
"Bima", "Kayal Arjuna", dan "Asmaradana". Dalam pembuatannya,
diperlukan pengetahuan tentang wayang dan cerita wayang.
Dalam "Asmaradana" diceritakan episode cerita Ramayana.
Asmaradana adalah nama sebuah tembang Jawa yang dipergunakan
untuk menceritakan percintaan atau berisi percintaan. Sita dibakar
untuk membuktikan kesuciannya. Ia belum terjamah oleh Rahwana
yang menculiknya dari Rama. Namun, dalam sajak "Asmaradana" ini
cerita diubah oleh Subagio, yaitu Sita memang melakukan sanggama
dengan raksasa (Rahwana) yang melarikannya. Hal ini dilakukan
untuk mengemukakan pandangan atau pendapat penyair sendiri
bahwa manusia itu tidak dapat terlepas dari nalurinya. Dalam cerita
Ramayana (wayang), Sita tidak terbakar di api suci. Ini membuktikan
kesuciannya. Perhatikan sajak Subagio Sastrowardoyo berikut.
Asmaradana
Sita di tengah nyala api
tidak menyangkal
betapa indahnya cinta berahi
Raksasa yang melarikannya ke hutan
begitu lebat bulu jantannya
dan Sita menyerahkan diri
Dewa tak melindunginya dari neraka
tapi Sita tak merasa berlaku dosa
sekedar menurutkan naluri
Pada geliat sekarat terlompat doa
jangan juga hangus dalam api
sisa mimpi dari sanggama
Orang tidak dapat memahami sajak "Asmaradana" itu tanpa
pengetahuan wayang atau cerita Ramayana. Cerita itu merupakan
episode akhir dari cerita Rama. Sesudah Rama dapat mengalahkan
Rahwana dan membunuhnya, Rahwana, Raja Alengka yang men-
curi Sita, maka Rama dapat berjumpa kembali dengan Sita isterinya.
Akan tetapi, Rama meragukan kesucian Sita, betapapun Sita me-
nyatakan bahwa ia tidak pernah terjamah Rahwana. Untuk membukti-
kan kesuciannya itu Sita bersedia dibakar, bila terbakar berarti ia
pernah dijamah (bersenggama dengan) Rahwana, jika tidak terbakar
berarti ia masih tetap suci. Dalam cerita wayang, Sita memang tidak
terbakar karena ditolong oleh dewa. Ia memang sungguh masih suci,
ia selalu menolak jika dirayu oleh Rahwana. Akan tetapi, dalam sa-
jak "Asmaradana" itu ceritanya dengan sengaja diubah oleh Subagio
untuk mengemukakan pikirannya sendiri. Ini menunjukkan kreativi-
tas Subagio sebagai seorang penyair.
Untuk menunjukkan pemahaman sajak dengan memerhatikan
latar sosial yang mendasarinya, berikut ini adalah sajak karya
Darmanto Jt. (1980: 40).
Isteri
~ isteri mesti digemateni
ia sumber berkah dan rejeki.
(Towikromo, Tambran, Pundong, Bantul)
Isteri sangat penting untuk ngurus kita
Menyapu pekarangan
Memasak di dapur
Mencuci di sumur
mengirim rantang ke sawah
dan ngeroki kita kalau kita masuk angin
Ya. Isteri sangat penting untuk kita
la sisihan kita,
kalau kita pergi kondangan
la tetimbangan kita,
kalau kita mau jual palawija
la teman. belakang kita,
kalau kita lapar dan mau makan
la sigaraning nyawa kita,
kalau kita
la sakti kita!
Ah. Lihatlah. la menjadi sama penting dengan kerbau,
luku, sawah, dan pohon kelapa. la kita cangkul malam hari dan
tak pernah ngeluh walau cape la selalu rapi menyimpan benih
yang kita tanamkan dengan rasa syukur: tahu terima kasih dan
meninggikan harkat kita sebagai lelaki. la selalu memelihara anak-
anak kita dengan bersungguh-sungguh seperti kita memelihara
ayam, itik, kambing, atau jagung.
Ah. Ya. Isteri sangat penting bagi kita justru ketika kita mulai
melupakannya:
Seperti lidah ia di mulut kita
tak terasa
Seperti jantung ia di dada kita
tak teraba
Ya. Ya. Isteri sangat penting bagi kita justru ketika kita mulai
melupakannya.
Jadi waspadalah!
Tetap. madep, manteb
Gemati, nastiti, ngati-ati
Supaya kita mandiri - perkasa dan pinter ngatur hidup
Tak tergantung tengkulak, pak dukuh, bekel atau lurah
Seperti Subadra bagi Arjuna
makin jelita ia di antara maru-marunya:
Seperti Arimbi bagi Bima
jadilah ia jelita ketika melahirkan jabang tetuka;
Seperti Sawitri bagi Setyawan
la memelihara nyawa kita dari malapetaka.
Ah.Ah.Ah
Alangkah pentingnya isteri ketika kita mulai melupakannya.
Hormatilah isterimu
Seperti kau menghormati Dewi Sri
Sumber hidupmu.
* Makanlah
Karena memang demikianlah suratannya! - Towikromo.
Penyair Darmanto Jt. hidup dalam lingkungan sosial-budaya
Jawa, maka ia tidak terhindar dari latar kebudayaan Jawa yang beru-
pa cerita-cerita Jawa dan wayang Jawa. Begitu juga ia tidak terhindar
dari pandangan hidup masyarakat atau ia akrab dengan pandangan
hidup orang Jawa. Semuanya itu tergambar dalam sajak-sajaknya, di
antaranya sajak "Isteri" ini.
Dalam sajak "Isteri" ini tergambar lingkungan sosial-budaya
kehidupan Jawa. Hidup-mati petani itu ditentukan oleh sawah, ker-
bau, dan alat-alat pertanian, juga ditentukan berhasil atau tidaknya
menanam padi. Menurut pandangan petani Jawa, tanaman padi akan
subur dan berbuah lebat, serta panenan akan berhasil jika mendapat
berkah dan restu Dewi Sri, dewi padi. Oleh karena itu, para petani
Jawa sangat menghormati dan menjunjung tinggi Dewi Sri. Mereka
membuat selamatan dan sesaji untuk mendapatkan berkahnya, yaitu
pada waktu mulai menanam padi dan waktu panen.
Bagi petani, kerbau dan alat-alat pertanian itu sangat penting
bagi kelangsungan hidupnya, bahkan merupakan hidup matinya.
Oleh karena itu, isteri yang sangat penting itu "hanya" disamakan
dan disejajarkan dengan kerbau. Bagi petani, dipandang dari sudut
pandang sosial-budaya pertanian, penyejajaran isteri dengan kerbau
itu tidak bermaksud merendahkan kedudukan istri sebab kerbau itu
sangat penting, merupakan hidup-matinya pula.
Pada umumnya, dalam pandangan sosial-budaya masyarakat
Jawa, lebih-lebih di dalam masyarakat petani di desa, kedudukan
dan guna isteri itu seperti tergambar dalam bait pertama: menyapu
pekarangan, memasak di dapur, mengirim rantang ke sawah, yaitu
mengirim makanan dengan rantang pada waktu pak tani bekerja di
sawah, dan ngeroki (menggosok-gosokkan uang logam berkali-kali
diminyaki kelapa atau balsem sampai kulit punggung dan dada men-
jadi merah bergaris-garis secara teratur) kalau suami masuk angin.
Hal ini sudah merupakan kebiasaan yang turun-temurun. Jadi, yang
kelihatannya lucu atau aneh bagi masyarakat atau bangsa lain itu
sesungguhnya tidak aneh dan wajar saja. Dengan memahami latar
sosial-budaya demikian, orang dapat memahami kesungguhan sa-
jak itu bahwa istri petani itu sangat penting dan cukup terhormat
kedudukannya. Bukan hanya sebagai benda kekayaan, pelayan,
ataupun budak suami. Dengan pengertian demikian, pembaca dapat
memberikan penilaian yang tepat terhadap sajak "Isteri" itu.
Dalam latar budaya petani Jawa, Dewi Sri itu sangat terhormat
seperti telah diuraikan di awal. Jadi, istri petani itu sesungguhnya
sangat terhormat karena disamakan penghormatannya terhadap
Dewi Sri (bait terakhir): "Hormatilah isterimu seperti kau menghor-
mati Dewi Sri sumber hidupmu". Di samping itu, isteri juga disa-
makan dengan Subadra istri Arjuna. Dalam cerita wayang, Arjuna
itu banyak istrinya, yang utama adalah Subadra. Subadra itu istri
yang lembut hatinya, cantik, dan baik hati. Kepada maru-marunya
ia bertindak adil, tidak membenci, penuh kasih sayang hingga maru-
marunya pun baik kepadanya.
Begitu juga jika dibandingkan dengan Arimbi istri Bima, yang
melahirkan Bambang Tetuka (Gatotkaca), ia memelihara anaknya den-
gan penuh kasih sayang. Bahkan, isteri petani juga dibandingkan dengan
Sawitri, seorang isteri yang karena cintanya kepada suami, ia memaksa
Dewa Yama, dewa maut yang mencabut nyawa Setyawan suaminya.
Setyawan sudah sampai takdirnya untuk mati, namun Sawitri tetap me-
minta kepada Dewa Yama untuk mengembalikan nyawanya. Akhirnya,
Yama mengabulkannya, mengembalikan nyawa ke tubuh Setyawan
dengan janji bahwa hidup Setyawan itu harus ditebus dengan setengah
masa hidup Sawitri sendiri. Dengan demikian, Setyawan hidup kembali
dan mereka hidup berbahagia kembali.
Dari paparan tersebut, terlihat jelas bahwa latar sosial-budaya
masyarakat memang berpengaruh terhadap kesusastraan. Jadi, dapat
dikatakan bahwa dalam sebuah karya sastra terdapat cerminan ma-
syarakat yang mewakili zaman tertentu. Hal tersebut dimunculkan
oleh pengarang sebagai bentuk reaksinya dalam menanggapi ber-
bagai gejala sosial yang ada pada masanya. Selain itu, melalui karya
sastra, pengarang pun mengutarakan kritiknya terhadap zaman.
Sekarang, untuk mengasah kemampuan Anda dalam memaknai
puisi, kerjakanlah latihan berikut ini.